
Indonesia, negeri indah yang kaya budaya, juga terkenal dengan satu budaya lain: korupsi. Mulai dari kepala desa yang hobi "ngasih alasan" sampai pejabat tinggi yang hobi "ngabisin anggaran," korupsi seperti tradisi turun-temurun yang diwariskan dengan bangga. Kalau ada yang bilang korupsi itu dosa, pasti belum lihat bagaimana pejabat kita tetap bisa senyum di TV setelah tertangkap KPK.
Level Desa: Uang Rakyat, Sawah Pribadi
Di desa, korupsi punya banyak varian. Ada yang menganggap dana desa sebagai tabungan pribadi, ada yang rajin membuat proyek fiktif, dan ada juga yang anggarannya sekadar lewat tanpa jejak. Yang penting, kalau ada warga tanya, tinggal bilang, "Nanti kita bahas di rapat."
Proyek pembangunan jalan? Ada, tapi kualitasnya kalah sama jalur tikus. Dana bantuan sosial? Ada juga, tapi entah kenapa yang dapat justru saudara kepala desa dan teman-temannya. Yang lebih hebat lagi, ada kepala desa yang sukses pakai dana desa buat beli mobil baru. Alasannya? "Biar pelayanan ke masyarakat makin cepat."
Level Kabupaten/Kota: Level Up, Korupsinya Juga
Naik ke level kabupaten atau kota, korupsi makin "canggih." Kalau di desa masih pakai cara manual, di sini sudah main sistem. Pengadaan barang dan jasa jadi arena permainan favorit. Harganya dinaikkan berkali-kali lipat, barangnya? Kadang datang, kadang hanya nama di laporan.
Belum lagi soal suap-menyuap. Mau urus izin usaha? Harus "ada itikad baik." Mau proyek lancar? Jangan lupa "berbagi rezeki." Pejabat daerah paham betul bahwa hidup harus saling membantu—tentu saja, membantu diri sendiri dulu.
Dampaknya? Anggaran habis, tapi pelayanan publik tetap nihil. Sekolah reyot, rumah sakit kurang fasilitas, jalanan lebih mirip kubangan. Tapi kalau pemilihan kepala daerah tiba, jangan khawatir! Bantuan sembako dan uang transport selalu tersedia. Namanya juga "bakti kepada rakyat."
Level Nasional: Korupsi Kelas Kakap, Hukum Kelas Terapi
Di tingkat nasional, korupsi bukan lagi sekadar trik kecil. Ini sudah level industri. Kasus-kasus megakorupsi dengan angka fantastis sering menghiasi berita, tapi anehnya, pelakunya jarang yang benar-benar merasakan penjara dalam waktu lama. Masuk penjara sebentar, dapat remisi, lalu keluar dengan senyum lebar. Kadang malah ada yang setelah keluar langsung dapat jabatan baru.
Contoh terbaru, kasus mantan Menteri Perdagangan, Thomas Lembong, yang ditangkap pada Oktober 2024. Dia didakwa menyebabkan kerugian negara sebesar Rp400 miliar karena mengizinkan impor gula pada 2015. Penangkapannya setelah pelantikan Presiden Prabowo memicu kecurigaan adanya motif politik, terutama karena Lembong dikenal kritis terhadap kebijakan pemerintahan sebelumnya.
Ada juga kasus Johnny G. Plate, mantan Menteri Komunikasi dan Informatika, yang ditangkap pada Mei 2023 terkait proyek infrastruktur BTS 4G dengan dugaan kerugian negara mencapai Rp8 triliun. Meskipun kasusnya besar, publik skeptis apakah hukuman yang dijatuhkan akan setimpal dengan kerugian yang ditimbulkan.
Kenapa Korupsi Susah Dihilangkan?
Karena sudah jadi budaya. Dari kecil, kita diajarkan bahwa "uang pelicin" itu wajar. Mau cepat dilayani? Kasih "uang rokok." Mau lancar urusan? "Ada tanda terima kasihnya dong." Lalu, setelah jadi pejabat, pola pikir ini semakin mengakar. Ditambah dengan sistem pengawasan yang lemah dan hukum yang bisa dinegosiasi, hasilnya? Ya, kita lihat sendiri.
Harapan dan Kenyataan
Tentu saja, kita semua ingin korupsi lenyap. Tapi mengandalkan penegakan hukum saja tidak cukup. Masyarakat harus lebih aktif mengawasi. Pejabat harus lebih transparan. Hukuman harus lebih berat. Dan yang paling penting, kita harus berhenti menganggap korupsi sebagai hal yang "lumrah."
Tapi ya, itu kan harapan. Kenyataannya? Besok mungkin ada berita pejabat korupsi lagi. Dan kita? Paling-paling cuma bisa ngopi, geleng - geleng sambil ngomel sendiri.