
"Desa itu indah, sejuk, damai, dan jauh dari kebisingan kota." Begitu kata brosur wisata yang menjual pengalaman "back to nature." Masalahnya, yang nulis brosur jelas belum pernah tinggal lama di desa. Sebab kalau sudah, dia bakal tahu bahwa desa itu bukan cuma sawah dan ayam berkeliaran, tapi juga tempat di mana gosip lebih cepat menyebar daripada edukasi digitalisasi.
Mentalitas Warga: Yang Penting Gitu-gitu Aja
Kalau ada satu hal yang nggak berubah di desa, itu adalah ketakutan pada perubahan itu sendiri. Warga desa cenderung mempertahankan cara lama, bukan karena efektif, tapi karena "dari dulu juga begini." Mau bikin usaha? "Nggak usah ribet, sudah ada warung Mbok Min." Mau bikin program pendidikan? "Buat apa sekolah tinggi-tinggi, toh ujungnya jadi petani juga." Inovasi dalam desa itu sering kali bukan disambut, tapi ditolak mentah-mentah. Yang lebih ironis, kalau ada anak muda sukses di luar kota, pulang ke desa malah ditanya, "Kapan nikah?"
Infrastruktur: Jalan Bolong dan Listrik Byar-pet Sebagai Warisan Budaya
Kalau kamu bisa mengendarai motor di desa tanpa masuk lubang, selamat! Kamu berbakat jadi pembalap rally. Infrastruktur di desa sering kali terbengkalai, dengan jalanan yang lebih banyak tambalan daripada komitmen mantan. Listrik juga lebih sering mati daripada hidup.
Setiap lima tahun sekali, ketika musim pemilu datang, ada janji manis: "Jalan akan diperbaiki, listrik akan stabil, dan desa akan maju." Hasilnya? Jalan tetap berlubang, listrik tetap mati-matian, dan yang maju cuma moncong janji-janji politikusnya.

Norma Sosial: Semua Orang Kenal, Tapi Bukan Berarti Saling Bantu
Di desa, nggak ada privasi. Bangun tidur, tetangga sudah tahu semalam kamu pulang jam berapa. Semua orang mengenal satu sama lain, tapi bukan dalam bentuk solidaritas, melainkan dalam bentuk bahan gosip. Seorang ibu rumah tangga belanja sayur sedikit lebih banyak? "Pasti suaminya naik gaji." Ada pemuda pulang dari kota pakai motor baru? "Hati-hati, jangan-jangan hasil ngepet."
Yang lebih parah, banyak desa masih memegang teguh sistem senioritas yang menyulitkan anak muda untuk berkontribusi. "Anak muda itu harus nurut yang tua." Padahal, sering kali yang tua juga nggak tahu solusi, cuma lebih lama hidup aja.
Agama dan Kepercayaan: Antara Tradisi dan Fanatisme
Di desa, agama sering kali menjadi komoditas politik dan alat untuk mengontrol sosial. Ritual-ritual adat yang seharusnya sakral menjadi ajang pamer kekayaan dan status sosial. Ceramah agama lebih sering jadi ajang sindir-menyindir daripada sumber pencerahan. Yang lebih parah, fanatisme beragama sering kali membutakan mata hati hingga tetangga yang beda keyakinan dianggap sebagai ancaman, bukan sebagai bagian dari komunitas.
Ekonomi Desa: Bergantung pada Bantuan Pemerintah
Banyak warga desa yang lebih sibuk mengeluh daripada mencari solusi. Saat ada bantuan dari pemerintah, semangat luar biasa. Tapi begitu diminta bikin usaha sendiri, langsung hilang semangatnya. Pola pikir "lebih baik dikasih daripada usaha" ini yang bikin ekonomi desa nggak berkembang. Alih-alih menciptakan peluang, banyak yang lebih memilih menunggu "rezeki datang sendiri."
Politik dan Korupsi: Jabatan Desa, Lahan Basah
Jabatan kepala desa sering kali lebih menarik daripada harus merintis usaha sendiri. Bukan karena pengabdian, tapi karena anggaran desa itu ibarat kolam susu bagi yang tahu cara mengolahnya. Transparansi? Ah, itu cuma konsep di buku teori. Realitanya, dana desa sering kali bocor entah ke mana, dan warga pun sudah kebal dengan istilah "biasa itu."
Korupsi di desa itu seperti penyakit kronis yang nggak ada obatnya. Kepala desa korupsi, perangkat desa ikut korupsi; bahkan sampai tukang gali kubur pun ikut korupsi. Dana desa yang seharusnya untuk membangun infrastruktur dan meningkatkan kesejahteraan warga malah masuk ke kantong pribadi. Ironisnya, warga desa sudah kebal dengan korupsi; mereka menganggap korupsi sebagai bagian dari "budaya" desa.
![]() |
Sumber: Radar Metro |
Pendidikan: Sekolah Itu Penting, Tapi Nggak Mendesak
Pendidikan di desa masih dianggap sekadar formalitas. "Yang penting bisa kerja," kata orang tua. Akibatnya? Anak-anak desa banyak yang berhenti sekolah lebih awal karena lebih menggiurkan jadi buruh di kota daripada duduk di kelas mendengarkan teori yang nggak ada hubungannya dengan kehidupan nyata mereka.
Hiburan Ala Kadarnya: Kartu Remi Pos Ronda Sampai Tengah Malam dan Judi Sabung Ayam
Jangan kaget kalau di desa hiburan malam itu ya nongkrong di pos ronda bermodalkan kopi dari hasil jimpitan rumah ke rumah lalu dibalut permainan kartu remi dan catur. Atau judi sabung ayam yang lebih ramai dari pasar malam. Anak muda desa nggak punya banyak pilihan hiburan selain ngumpul di warung kopi sambil main Mobile Legend atau pacaran di tempat gelap. Bioskop? Jangankan bioskop; rental PS aja udah dianggap mewah.
Kesehatan: Dukun Lebih Dipercaya daripada Dokter
Puskesmas sih ada, tapi lebih sering tutup daripada buka. Kalau sakit, warga desa lebih percaya dukun daripada dokter. Alasannya klasik: "Lebih manjur" atau "lebih murah." Akibatnya penyakit yang sebenarnya bisa disembuhkan dengan obat modern jadi makin parah karena diobati dengan ramuan yang nggak jelas kandungannya.
Konflik Tanah Warisan
Sengketa tanah warisan adalah drama abadi di desa. Adik kakak berantem; ipar ribut dengan mertua; bahkan sampai ada yang bunuh-bunuhan karena rebutan tanah. Hukum adat sering kali jadi alat untuk membenarkan keserakahan; pengadilan agama jadi arena pertarungan yang nggak ada habisnya. Akibatnya tanah yang seharusnya bisa produktif malah jadi lahan tidur penuh dendam dan air mata.
Bencana Alam: Datang Tiba-Tiba, Bantuan Datang Terlambat
Desa sering kali jadi langganan bencana alam: banjir, longsor, kekeringan. Masalahnya penanganan bencana di desa itu sering kali lambat dan nggak efektif. Bantuan dari pemerintah datang telat; relawan lebih sibuk selfie daripada membantu korban; warga pun lebih sibuk berebut bantuan daripada saling membantu.
Desa Bisa Maju, Asal Mau Berubah
Desa itu punya potensi luar biasa. Alamnya, lahannya bahkan budayanya bisa menjadi daya tarik ekonomi dan inovasi. Tapi kalau mentalitasnya tetap seperti ini ya jangan harap desa bisa maju. Yang ada kita cuma jadi saksi dari lingkaran setan: orang desa ingin ke kota; orang kota ingin tinggal di desa; tapi desa tetap begitu-begitu saja.
Mau desa maju? Sederhana! Jangan cuma aspal jalan dan bangun gapura megah. Ubah dulu cara berpikirnya! Karena kalau desa cuma berharap "dapat bantuan," yang ada bukan kemajuan tapi cuma bertahan hidup—dan bertahan hidup itu beda jauh dari berkembang.