.jpeg)
Kalau lahir dengan embel-embel "laki-laki", siap-siap saja. Sejak kecil sudah ada ekspektasi tidak tertulis yang harus dipenuhi.
Harus kuat, harus sukses, harus jadi pemimpin.
Kalau nangis? Dibilang cengeng.
Kalau gagal? Dibilang pemalas.
Kalau terlalu lembut? Dibilang kurang jantan.
Seolah-olah menjadi laki-laki berarti harus siap mental menghadapi hidup yang penuh dengan tekanan.
Ekspektasi Ekonomi: Harus Sukses dan Mapan
Tidak peduli latar belakangnya, setiap laki-laki selalu dihadapkan pada satu tuntutan utama: harus sukses.
Mau kerja apa pun, ujung-ujungnya harus bisa menafkahi keluarga.
Laki-laki yang gajinya lebih kecil dari pasangannya? Wah, ini bahan gibah satu RT. "Masa istrinya lebih sukses dari dia?"
Padahal, kalau perempuan memilih untuk jadi ibu rumah tangga, tidak ada yang ribut. Tidak ada yang mempertanyakan apakah mereka cukup sukses atau tidak menjadi seorang ibu rumah tangga.
Tapi kalau ada laki-laki yang memilih jalan serupa? Siap-siap saja dicap "malas" atau "tidak bertanggung jawab."
Lebih parah lagi, di beberapa kasus, laki-laki yang bekerja keras pun masih bisa dianggap kurang. Misalnya, kalau kerja kantoran, dianggap kurang maskulin. Kalau jadi seniman, dianggap tidak punya masa depan. Ujung-ujungnya, standar "sukses" ini bukan hanya berat, tapi juga absurd.
Ekspektasi Emosional: Jangan Nangis, Bro!
"Laki-laki tidak boleh menangis." Pernah dengar kalimat ini? Mungkin setiap laki-laki pernah diperingatkan soal ini, entah dari orang tua, teman, atau bahkan budaya populer. Seolah-olah air mata itu hanya hak eksklusif perempuan.
Padahal, represi emosi ini berbahaya. Menahan semua tekanan tanpa bisa meluapkannya sering kali berujung pada stres, depresi, atau bahkan penyakit jantung.
Lalu, kenapa masih banyak yang menganggap ekspresi emosi adalah kelemahan? Kenapa kita tidak bisa bilang ke teman laki-laki kita..
"Gak apa-apa, lu boleh nangis kok"?
Menariknya, standar ini bisa berubah-ubah tergantung situasi.
Kalau seorang laki-laki menangis di pemakaman, itu wajar. Tapi kalau dia menangis karena merasa gagal dalam hidup? Tiba-tiba ada yang bilang, "Ah, lemah banget sih."
Seakan-akan laki-laki cuma boleh sedih di momen tertentu saja.
Ekspektasi Fisik: Harus Gagah dan Berotot
Selain soal ekonomi dan emosi, ada satu lagi ekspektasi yang sering bikin laki-laki terbebani: tampilan fisik. Harus tinggi, harus atletis, harus terlihat "gagah".
Kalau kurus? Dibilang ceking.
Kalau gemuk? Dibilang tidak terawat.
Kalau tidak bisa push-up 50 kali? Wah, itu dianggap kelemahan.
Padahal, tidak semua laki-laki bisa atau mau menghabiskan waktu di gym. Ada yang lebih suka baca buku, main musik, atau melakukan hobi lainnya.
Tapi lagi-lagi, ekspektasi sosial berkata lain: "Laki-laki harus kuat, harus bisa angkat beban, harus bisa lari jauh." Seakan-akan nilai seseorang hanya diukur dari ototnya.
Ekspektasi Sosial: Harus Jago, Harus Tangguh
Dari kecil, laki-laki sudah diajarkan untuk bisa segala hal. Harus bisa memperbaiki genteng bocor, harus jago bela diri, harus bisa memimpin.
Ada laki-laki yang lebih senang berkarya di bidang seni? Atau lebih nyaman mengikuti daripada memimpin? Wah, langsung kena label "kurang laki."
Padahal, tidak semua laki-laki ingin jadi pemimpin. Tidak semua laki-laki bisa memperbaiki motor atau pipa bocor. Dan itu tidak seharusnya menjadi masalah.
Tapi karena sudah terlanjur ada ekspektasi sosial ini, banyak yang merasa gagal hanya karena tidak memenuhi standar yang sebenarnya tidak mereka buat sendiri.
Bahkan dalam pertemanan, ada aturan tak tertulis yang membatasi laki-laki. Tidak boleh terlalu ekspresif saat menunjukkan kasih sayang ke teman laki-laki lainnya.
Harus bisa bercanda dengan gaya "tough love" yang kadang malah menyakiti. Seakan-akan kelembutan itu adalah hak milik perempuan saja.
Ekspektasi dalam Hubungan: Harus Selalu Inisiatif dan Tidak Boleh Lemah
Dalam percintaan, ekspektasi terhadap laki-laki juga tidak kalah ribet.
Harus jadi yang pertama mendekati, harus bisa memimpin hubungan, harus tahu segalanya.
Kalau terlalu pasif? Wah, dianggap tidak serius.
Kalau terlalu ekspresif? Dibilang bucin.
Laki-laki juga seringkali diharapkan untuk "membaca pikiran" pasangannya, seolah-olah mereka punya kemampuan telepati bawaan.
Beban finansial juga sering jadi topik dalam hubungan.
Ada anggapan bahwa laki-laki yang tidak bisa mentraktir atau memberi hadiah mahal berarti kurang berusaha.
Padahal, hubungan seharusnya tentang dua orang yang sama-sama berkontribusi, bukan satu pihak yang selalu diharapkan memberi lebih.
Ekspektasi dalam Keluarga: Harus Jadi Kepala Keluarga, Harus Bisa Segalanya
Begitu menikah, ekspektasi baru muncul. Harus jadi kepala keluarga, harus bisa melindungi, harus bisa mengambil keputusan besar. Bahkan jika ada masalah dalam rumah tangga, sering kali laki-laki yang dipersalahkan karena dianggap kurang tegas atau kurang bertanggung jawab.
Padahal, kepemimpinan dalam keluarga bisa bersifat fleksibel.
Tidak semua keputusan harus diambil oleh satu pihak. Ada banyak keluarga yang justru lebih harmonis ketika peran dibagi dengan adil tanpa paksaan dari ekspektasi sosial.
Saatnya Ubah Pola Pikir
Ekspektasi ini harus direvisi. Laki-laki juga manusia. Mereka punya batasan, punya emosi, punya kebebasan untuk memilih jalan hidupnya sendiri.
Kalau perempuan sudah diperjuangkan haknya untuk tidak sekadar "dapur, sumur, kasur", kenapa laki-laki masih harus dikekang dengan standar lama yang ketinggalan zaman?
Sudah saatnya masyarakat berhenti mendikte bagaimana seharusnya laki-laki hidup.
Tidak ada salahnya menangis. Tidak ada salahnya memilih jalan yang berbeda. Tidak ada salahnya menjadi lembut, jika itu memang yang diinginkan. Dan yang paling penting: tidak ada salahnya menjadi diri sendiri.