-->

Adat Istiadat Desa, Tradisi Sakral atau Sekadar Ajang Adu Kuat antara Mbah dan Millennials?

Adat Istiadat Desa

Kehidupan desa itu ibarat sinetron striping, selalu ada konflik, ada kebersamaan, ada drama, dan tentu saja ada hukum adat yang entah sejak kapan eksis tapi semua orang nurut. 

Tanpa perlu ada polisi adat, masyarakat desa punya aturan tak tertulis yang lebih sakti dari undang-undang. Masalahnya, sekarang sudah tahun 2025, dan beberapa aturan adat ini mulai bikin anak muda garuk-garuk kepala.

Desa dan Aturan Tak Tertulis yang Lebih Seram dari SK Kepala Desa

Setiap desa punya adatnya masing-masing, tapi satu yang pasti: selalu ada aturan yang bikin orang kota melongo. 

Contohnya, di beberapa desa, pamali bagi anak gadis keluar malam. Katanya bisa ketempelan roh halus. 

Atau kalau di desa lain, rumah tak boleh menghadap ke arah tertentu, karena itu bikin rezeki seret. 

Ini bukan ramalan zodiak, tapi aturan desa yang benar-benar dipegang teguh.

Selain itu, jangan sekali-kali melanggar tradisi gotong royong. Karena kalau kamu nggak muncul di acara bersih desa, bisa-bisa namamu langsung masuk daftar blacklist di warung kopi. 

Sanksinya? Bisa dalam bentuk bisik-bisik tetangga sampai nasibmu yang entah kenapa mendadak apes tanpa alasan jelas. Percaya atau tidak, warga desa sering merasa hukum adat lebih ampuh daripada surat panggilan polisi.

Antara Mbah-Mbah yang Gigih dan Anak Muda yang Tersiksa

Masalahnya, zaman sudah berubah. 

Anak muda desa sekarang mainnya bukan lagi di sawah, tapi di media sosial. Lha, gimana mau ikut gotong royong kalau pas hari H mereka harus ikut zoom meeting kerja remote? Dan jangan lupakan geng motor listrik yang lebih sibuk bikin konten TikTok ketimbang ngurusin irigasi sawah. 

Generasi tua yang masih memegang teguh adat sering kali melihat ini sebagai ancaman terhadap keutuhan desa.

Banyak anak muda yang pengen desa lebih fleksibel. Adat tetap ada, tapi nggak usah sampai saklek banget. 

Masalahnya, Mbah di desa nggak bisa diajak kompromi semudah itu. 

Buat mereka, tradisi adalah harga mati, lebih kuat dari janji politisi saat kampanye. Jadi kalau ada anak muda yang coba-coba membangkang, siap-siap kena wejangan panjang ala seminar motivasi gratisan.

Antara Melestarikan atau Mengubah, Itu Pertanyaannya

Lalu, apakah adat istiadat desa ini harus dipertahankan atau boleh diubah? 

Jawabannya tergantung siapa yang kamu tanya. Kalau tanya Mbah di desa, mereka pasti akan bilang bahwa adat adalah warisan leluhur yang harus dijaga mati-matian. 

Tapi kalau tanya anak muda yang baru pulang dari kota, mereka akan bilang bahwa adat perlu beradaptasi biar nggak jadi beban.

Yang jelas, adat istiadat desa itu seperti nasi goreng kampung. Klasik, enak, dan bikin kangen, tapi kalau bumbunya nggak diperbarui, bisa-bisa kalah saing sama tren makanan kekinian. 

Jadi mungkin bukan soal mempertahankan atau menghapus, tapi bagaimana membuat adat desa tetap relevan tanpa kehilangan jati dirinya.

Karena kalau sampai desa kehilangan adatnya, yang rugi bukan cuma Mbah-mbah, tapi kita semua yang diam-diam selalu butuh tempat pulang dengan segala tradisi dan kehangatannya.

LihatTutupKomentar